Jumat, 27 Januari 2012

korean music

Annyong Haseyo,

Selamat berjumpa kepada pendengar setia KBS World Radio. Melanjutkan cerita dua minggu yang lalu tentang instrumen musik tradisional dari Korea, maka kali ini saya akan bercerita tentang alat musik gesek dan petik serta bagaimana instrumen-instrumen tradisional ini –termasuk instrument yang telah diceritakan dua minggu yang lalu- diaktualisasikan di era sekarang.

Dalam beberapa penampilan atraksi budaya di festival-festival musim semi selain menampilkan bentuk musik tetabuhan yang penuh semangat seperti samulnori, juga kerap mengusung orkestra musik tradisional yang cukup lengkap. Dalam pertunjukan seperti ini, selain menghadirkan alat musik tetabuhan seperti jing, janggu atau kkwaenggwari juga memainkan instrumen musik petik dan gesek (alat musik dengan dawai atau senar, seperti gayageum, geomunggo, ajaeng atau haegeum) serta alat musik tiup misalnya piri. Tidak jarang atraksi vokal dengan lagu-lagu rakyat juga melengkapi pertunjukannya. Seperti halnya alat-alat musik tetabuhan, instrumen tradisional berdawai ini juga memiliki sejarah dan perkembangan yang lama, sepanjang sejarah pendirian kerajaan-kerajaan di semenanjung Korea itu sendiri.

Gayageum (가야금) misalnya. Alat musik petik yang mungkin merupakan alat musik tradisional yang paling dikenal dari Korea ini bisa dibilang mirip dengan alat musik kecapi dari daerah Sunda dari cara memainkannya. Memiliki variasi jumlah senar mulai dari 12, 13, 17, 18, 21, 22 dan terbanyak 25 senar di atas badan instrumen yang terbuat dari kayu paulownia, gayageum menghasilkan bunyi petikan yang nyaring. Nama gayageum sendiri tampaknya berasal dari konfederasi Gaya di sekitar abad keenam, masa dimana Raja Gashil menciptakan instrumen ini. Karena diciptakan oleh seorang raja, maka gayageum ciptaan Raja Gashil ini memiliki beberapa sebutan seperti pungnyu gayageum (pungnyu/풍류 yang berarti elegan) dan jeong-ak gayageum (jeong-ak/ 정악 yang berarti musik yang sesungguhnya) dan kerap diasosiasikan dengan musik kerajaan. Sekitar abad kesembilan belas, saat munculnya genre musik sanjo yang bisa diartikan sebagai musik yang dihasilkan melalui improvisasi memunculkan evolusi dari gayageum menjadi sanjo gayageum.

Instrumen yang secara penampakan mirip dengan gayageum adalah geomungo (거문고). Memiliki jumlah dawai yang lebih sedikit dari gayageum, yaitu sebanyak 6 atau 11 dawai, geomungo menghasilkan nada yang lebih berat serta dimainkan dengan memetik dawainya dengan tongkat bambu yang dinamai suldae. Geomungo sendiri berasal dari masa Kerajaan Goguryeo sekitar abad keempat masehi, meski ada legenda lain yang mengatakan bahwa geomungo diciptakan oleh Wang San-ak, seorang musisi kenamaan yang hidup sekitar tahun 550 Masehi. Baik gayageum maupun geomungo, mengingat ukurannya yang cukup besar, biasa dimainkan dengan meletakkan instrumen ini secara mendatar di hadapan pemainnya.

Instrumen gesek yang kerap dimainkan adalah haegeum (해금), sebuah instrumen yang serupa dengan alat musik rebab dari pulau Jawa. Dengan bentuk yang unik, sebuah silinder di bagian bawah dengan bagian leher yang jenjang, haegeum memiliki dua buah senar yang dimainkan dengan cara menggeseknya menggunakan busur. Karena bentuknya yang seperti ini, haegeum dimainkan dengan meletakkannya di pangkuan si pemain, berbeda dengan biola atau viola yang dimainkan dengan seolah-olah memanggul alat musik tersebut. Dimainkan dengan cara digesek, haegeum menghasilkan nada yang sambung menyambung, memberikan kombinasi yang apik dengan instrumen petik seperti gayageum dan geomungo.

Para pendengar setia KBS World Radio, dengan bentuk dan cara memainkannya yang tergolong unik, pentas-pentas kesenian yang menampilkan alat-alat musik tradisional ini juga memunculkan daya tarik tersendiri. Apalagi jika para pemainnya adalah anak-anak muda atau bahkan anak-anak belasan tahun. Menandakan bahwa meski berasal dari sesuatu yang bersifat tradisional, instrumen-instrumen ini ternyata mampu diaktualisasikan pada generasi masa kini.

Proses pengaktualisasian ini juga tergambar dari beberapa grup atau musisi Korea yang khusus memainkan alat-alat musik ini. Misalkan sebuah grup musik bernama IS yang merupakan singkatan dari Infinity of Sound (suara tanpa batas) yang terdiri dari tiga gadis muda bermarga Kim: Kim Min-ah yang memainkan haegeum, Kim Jin-ah yang memainkan gayageum dan Kim Seon-ah yang memainkan geomungo. Beragam komposisi terutama yang memiliki nuansa tradisional Korea dibawakan dengan apik. Beberapa lagu diantaranya bahkan juga memadukan permainan instrumen tradisional ini dengan alat musik modern seperti dentingan piano yang tentunya memberikan sebuah nuansa baru.

Grup lainnya adalah kuartet gayageum Yeoul yang terdiri atas Ki Sook-hee, Lee Soo-eun, An Na-rae dan Park Min-jung. Keunikan dari kuartet gayageum ini adalah karena keempat anggotanya merupakan teman dan belajar bersama-sama memainkan gayageum sejak dari tingkat SMU hingga jenjang Pasca Sarjana dari Ehwa Women University, Seoul. Memainkan gayageum dengan jumlah dawai sebanyak 25 buah, kuartet ini sering memainkan komposisi-komposisi musik klasik seperti karya Mozart atau Schubert, lagu-lagu pop klasik seperti Fly Me to the Moon, musik yang bernuansa jazz, bahkan juga komposisi music rock klasik dari grup legendaris Led Zeppelin, Stairway to Heaven. Kuartet ini juga kerap memadukan permainan gayageum mereka secara harmonis dengan alat-alat musik modern seperti bass, perkusi, keyboard hingga drum.

Para pendengar setia KBS World Radio, bagaimana pengaktualisasian beragam music dan instrumen tradisional dalam bentuk yang lebih sesuai dengan selera zaman mungkin telah banyak dilakukan. Dari negeri tetangga Korea, China misalnya juga memiliki grup 12 Girls Band yang juga memainkan alat-alat musik tradisional China dan membawakan komposisi-komposisi lagu populer masa kini. Apalagi dengan para musisinya yang masih berusia belia membuat atraksi dan musik yang ditampilkan menjadi lebih atraktif dan menarik, sekaligus memperlihatkan proses regenerasi yang terjalin baik. Membuat saya jadi teringat komentar keheranan seorang teman dari Indonesia di sini sewaktu melihat foto personil di sampul CD Kuartet Yeoul, “Lho, yang bermain gayageum masih muda-muda? Bukan biasanya orang-orang tua?” Gamsa hamnida. Annyonghi-geseyo.

sumber:multiply

Tidak ada komentar:

Posting Komentar